Pemetaan Kampung Untuk Pengurangan Risiko Bencana di Aceh

Sejak pelaksanaan workshop Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada akhir April 2015 lalu, hampir tiap malam, warga dari beberapa gampong di Aceh berkumpul di posko UPC yang terletak di gampong Lam Awee, kecamatan Peukan Bada. Selain mengerjakan peta kampung, warga berkumpul juga untuk berbagi cerita tentang Aceh setelah Tsunami pada akhir 2004 lalu. Meski telah satu dekade berlalu, cerita tsunami tak pernah usang untuk dibicarakan, karena dampaknya yang luar biasa mengerikan bagi masyarakat Aceh. Seperti kita ketahui, tsunami telah menewaskan ratusan ribu penduduk, belum lagi kerusakan rumah, fasilitas sosial, dan sebagainya. Di kecamatan Peukan Bada, salah satu wilayah terdampak yang paling parah adalah wilayah pesisir Peukan Bada.Pemetaan Kampung untuk Program PRB Aceh 1
Secara geografis Peukan Bada, merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi terhadap tsunami. Maka ketika terjadi tsunami pada 2004 lalu, kampong-kampung di Peukan Bada banyak yang hancur dan korban pun demikian banyak. Misalnya di gampong Lam The, dari semula berpenduduk 2500 jiwa, hanya tersisah 180 jiwa, atau Meunasah Tuha, dari awalnya 1408 jiwa, tersisa 227 jiwa setelah tsunami. Hal itulah yang mendasari pemilihan wilayah Peukan Bada sebagai wilayah pemetaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB).

Peukan Bada merupakan satu kecamatan yang terdiri atas 4 mukim, dan 26 gampong. Pada saat rekonstruksi paska tsunami, UPC bersama warga Peukan Bada berhasil membangun rumah sebanyak kurang lebih 3000 rumah, beserta fasilitas kampong lainnya. Rumah di bangun di 16 gampong yang berada dalam wilayah administrasi kecamatan Peukan Bada, kabupaten Aceh besar.

Pemetaan Kampung untuk Program PRB Aceh 1

Hingga kini, tercatat ada 6 gampong (Lam Pageu, Lambaro Neujid, Lam Awee, Lam Roukam, Gurah dan Payatieng) yang aktif dalam kegiatan pemetaan gampong, meski dalam prosesnya agak berbeda sebab warga dari gampong-gampong memilih berkumpul di satu tempat dan mengerjakan secara bersama-sama dibanding harus mengerjakaannya di gampong masing-masing.

Beberapa hal yang menjadi alasan yaitu bahwa selama ini kegiatan rekonstruksi yang dilakukan UPC/Uplink telah memunculkan kesan emosional yang kuat antar warga gampong, juga antar gampong, sehingga harapan untuk berkumpul kembali antar jaringan gampong selalu ada. Alasan lainnya adalah sulitnya melibatkan warga di gampong untuk mengerjakan peta sebab warga sudah terbiasa dengan “Cash for Work” pada waktu proses rekonstruksi paska tsunami dulu. Demikian cerita dari Ashar dan Pak Wan, dua dari sekian banyak warga Lam Roukam yang dulunya terlibat aktif dalam proses rekonstruksi bersama UPC/Uplink dan JUB (Jaringan Udeep Beusare).

Pemetaan Kampung untuk Program PRB Aceh 1
Terkait pemetaan yang dilakukan, sebenarnya bukan hal baru bagi warga bahkan sudah berulang kali dilakukan. Hal ini dikatakan Irma salah seorang pengurus yayasan yang juga pernah turut aktif dalam issu PRB, pada evaluasi pemetaan pada 15 Mei lalu. ” Akan tetapi hasil dan tindak lanjut dari kegiatan pemetaan tersebut masih kurang, bahkan arsip hasil pemetaan hampir tidak bisa ditemukan di gampong, ” kata Irma. Surya, seorang peserta pemetaan, menambahkan bahwa tindak lanjut dari kegiatan pemetaan yang dulu pernah dilakukan sepertinya tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Surya menganggap bahwa escape building merupakan hasil pemetaan kerawanan, akan tetapi tempat tersebut kurang berfungsi.

Berdasarkan informasi warga, apa yang disampaikan Surya menemukan kebenarannya. Ketika terjadi gempa 7,3 skala richter pada 2013 lalu, warga Peukan Bada mencari tempat evakuasi yang menurut mereka paling aman, dan ternyata tempat evakuasi justru tidak menggunakan akses evakuasi yang telah dibangun oleh pihak pemerintah dan swasta. “Lihat saja sendiri tangganya sangat curam, mana mungkin orang bisa lari cepat ke atas bukit kalau harus lewati tangga ini,” ujar Surya, saat kunjungan ke satu titik escape yang dibuat oleh NGO yang terletak di gampong Lam Badeuk.

Hal senada juga diungkapkan oleh Zulfikar salah seorang warga gampong Gurah, “Waktu gempa pada 2013 tu, orang-orang lari ke gunung, tapi tangga yang sudah disiapkan untuk evakuasi tidak di pakai karena jauh”.

Belajar dari pengalaman pemetaan yang sudah banyak dilakukan, warga menyepakati perlunya hasil pemetaan didigitalkan dan dicetak ulang sebagai arsip gampong. Harapannya selain dapat digunakan untuk identifikasi kerawanan, peta juga dapat digunakan dalam menyusun rencana terkait pembangunan gampong. Dalam pertemuan gampong di Gurah, guna pembahasan rencana pemetaan gampong pada 8 Mei 2015 lalu, seorang sekretaris desa menyatakan pentingnya pendokumentasian secara digital dan cetak, karena bisa melengkapi profil gampong. Untuk itu salah satu tindak lanjut pemetaan adalah pendokumentasian secara baik serta perlunya dialog dengan mengundang pihak terkait untuk melihat langsung hasil dari pemetaan. (fardi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *