DISKUSI BULANAN GERMIS: BENCANA DAN PENANGANANNYA DI KENDARI
Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi tahun 2013 lalu, masih terbayang dalam ingatan warga di Kecamatan Abeli. Ratusan rumah tergenang banjir dan puluhan terkena tanah longsor. Masyarakat yang paling merasakan dampaknya adalah orang-orang kecil karena keterbatasan untuk bangkit dari keterpurukan, berbeda dengan orang-orang kaya yang bisa memulihkan kehidupannya dengan cepat. Dan bencana banjir dan longsor masih terus mengintai kampung-kampung miskin di Kota Kendari ke depan.
Gerakan Rakyat Miskin Bersatu (GERMIS) Kendari mempunyai agenda diskusi bulanan, kali ini mengundang Dinas Sosial Kota Kendari untuk menjelaskan “Strategi Penanggulangan Bencana Kota Kendari”, acara ini berlangsung di Kampung Talia, Kecamatan Abeli, pada tanggal 24 April 2015 lalu.
Langgo Simon, SE, staf yang ditugaskan mengurusi masalah bencana di Dinas Sosial (Dinsos) Kota Kendari, menjelaskan penyebab bencana banjir dan longsor di Kendari bermacam-macam. Pertama, Faktor alam yang tidak menentu seperit angin, awan dan air laut. Cuaca yang tidak menentu menyebabkan hujan sulit diprediksi debitnya. Banjir pada tahun 2013, debit air yang turun cukup tinggi, di satu sisi daya tampung sungai seperti sungai Wanggu tidak mampu, akhirnya meluap ke pemukiman masyarakat. Kedua, dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat seperti membuang sampah sembarangan yang mengakibatkan got tersumbat dan kali semakin dangkal. Selain itu, masyarakat kadang membangun tempat tinggal di daerah yang rawan bencana seperti dekat sungai dan lereng gunung. Ketiga, tata ruang yang amburadul mengubah bentang alam dan otomatis akan menimbulkan masalah baru terutama lingkungan.
“Paradigma atau pola pikir dalam penanganan bencana sudah diubah. Pola pikir lama bersifat responsif diubah menjadi pola pikir pro aktif. Penanganan bencana dimulai dari perencanaan pembangunan untuk mengurangi resiko bencana sampai penanggulangan bencana. Masyarakat dapat mengajukan pembangunan pengurangan resiko bencana di Musrembang Kelurahan yang diadakan sekali setahun,” kata Simon.
Dalam diskusi tersebut, Simon juga memaparkan bahwa dalam melaksanakan penanganan kebencanaan, Dinsos ditugaskan untuk mengurusi masalah logistik, shelter, penanganan psikososial dan faktor bencana itu sendiri. Dinsos juga memberikan bantuan kepada masyarakat ketika masa tanggap darurat. Yang dimaksud tanggap darurat adalah ketika warga tidak mampu lagi mencari nafkah selama 3 hari. Ketika itu terjadi, maka Dinas Sosial turun tangan mengurus bencananya. Langkah awal adalah mengevakuasi korban bekerjasama dengan SAR yang dikomandoi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kendari.
“Setelah menyelamatkan nyawa, Dinsos membuat shelter untuk hunian sementara, ditempat itu disipkan makanan, pakaian dan pengobatan dsb. Shelter terakhir dibangun di kasus penggusuran paksa masyarakat Kampung Bugis, Kecamatan Poasia. Sesudah itu biasanya Dinsos mendata rumah warga yang terkena bencana. Kasus pendataan dilakukan pada bencana banjir dan longsor tahun 2013. Sebanyak 169 rumah yang rusak ringan, berat dan hilang terbawa arus dibantu dengan menggunakan uang dari Kementerian Sosial (Kemensos). Dan apabila ada usaha yang hancur karena bencana, maka Dinsos menyalurkan bantuan Kredit Usaha Bersama (KUBE),” terang Simon.
Dalam sesi tanya jawab, Hartati, Warga Kampung Talia, membantah pernyataan pembagian bantuan perbaikan rumah bagi korban bencana tahun 2013.
“Saya juga kena toh. Ada beberapa di Talia yang terkena tanah longsor dan rusak. Waktu itu di foto-foto, katanya akan dikirim ke Walikota untuk diberikan bantuan perbaikan rumah, tapi kenyataanya tidak ada, hanya sembako yang turun. Ada juga rumah saudaraku terbawa arus banjir di Lapulu tahun 2013, tapi bantuannya tidak ada sampai sekarang. Dua rumah di situ, pak,” kata Hartati.
“Biasanya ada proses penilaian, bu. Kalau rumah hilang biasanya diberikan bantuan sebesar 15 juta, uang itu dari Kemensos. Bisa jadi laporannya tidak sampai ke kami atau bisa jadi terkendala soal kepemilikan lahan. Pada saat banjir dan longsor tahun 2013, pengusul untuk perbaikan rumah kurang lebih 2000 rumah. Ternyata sesudah diseleksi hanya 100an lebih yang lolos dan layak mendapatkan bantuan. Ini penting dan harus sesuai syarat-syaratnya” jawab Simon.
Lain halnya dengan Sitti Sahara, ketua GERMIS, yang juga warga Kampung Benua Nirai. Ia tidak yakin Musrembang sebagai solusi dalam pengurangan resiko bencana. “Itu kenyataan di Benua Nirai, Pak. Musrembang memutuskan untuk membangun got tapi belum selesai berhenti ditengah jalan dan ujung berakhir depan rumah warga. Dampaknya malah menciptakan banjir setiap kali hujan dan menggenangi rumah-rumah warga. Berkali-kali diusulkan dalam musrembang untuk melanjutkan pembangunan tapi tidak pernah didengar sampai sekarang,”terang Sitti Sahara.
Begitupun dengan Wati, Warga Kampung Kontu Balano, Lapulu. Ia mengeluhkan kampungnya selama 10 tahun terakhir selalu terkena banjir rob, biasanya terjadi 3 kali dalam seminggu. Musrembang tidak pernah merencanakan pembangunan tanggul untuk menghalau air laut masuk ke rumah-rumah warga, padahal banjir rob dari hari ke hari semakin tinggi.
“Yakinlah bencana pasti akan datang kalau ada perubahan dalam bentang alam” kata Simon diakhir diskusi.